click here to read Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 1)
click here to read Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 2)
click here to read Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 3)
Sebiru hari ini, birunya bagai langit terang benderang
Sebiru hari kita bersama di sini
Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah
(Sebiru Hari Ini – EdCoustic)
Mungkin syair nasyid inilah yang melukiskan keceriaan berbalut kesederhanaan kami bersama siswa-siswi dan warga Telabit, Sarawak, Malaysia. Masih terngiang jelas memori perjalanan kami di sana. Mengajar bersama cikgu Selfie dan cikgu Udin, bermain dengan santri CLC An-Nur Hijrah Telabit, menerima ajakan Ustadz Faisal jalan-jalan dan shopping ke Batu Niah plus Bintulu, makan besar sop tulang ala chef Risal, dan tentu saja yang paling seru ialah membuat Zainal menangis seraya berseru, “Bombek ko!” (Bahasa Bugis yang artinya “Kita tak lagi berkawan!”). Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Tak ada yang abadi.
Kisah kami berawal dari program besutan Kak Ineu Rahmawati bertajuk Volunteerism Teaching Indonesian Children 3 (VTIC 3), yang merupakan program relawan mahasiswa mengajar anak-anak TKI di industri minyak kelapa sawit Sarawak, Malaysia. Singkat cerita, tiga dari 25 mahasiswa terpilih diterjunkan mengajar di CLC Telabit milik perusahaan SOPB (Sarawak Oil Palm Bhd). Aku, Jihan (Matematika UNJ) dan Rina (Sejarah UIN). And here is our love story in Telabit.
Mabit di Telabit
Setibanya di Miri Airport, kami menanti datangnya jemputan cikgu Salim untuk melanjutkan perjalanan panjang menuju Saremas, lokasi pembukaan VTIC 3. Inilah momen pertamaku bersua tokoh inspiratif yang namanya selalu didengungkan panitia VTIC: Muhammad Salim, S.E., S.Pd. Cikgu Salim sosok pekerja keras, sederhana, humoris, tegas dan pantang menyerah, pun terkadang sedikit melankolis. Kisah nyata perjalanan hidup beliau yang dramatis semakin membuka mata kami untuk terus berbagi. Bahwa hidup ini penuh perjuangan, hidup ini penuh pengorbanan, dan hidup ini hanya sementara. Layaknya petuah Jawa, “Urip iku mung mampir ngombe” (“Hidup itu hanya singgah sebentar untuk minum”).
Menjelang maghrib, upacara pembukaan pun usai. Cikgu Selfie dan cikgu Udin datang menyambut dan siap memboyongku, Jihan serta Rina menuju Telabit. Beliau berdualah guru tetap di CLC An-Nur Hijrah Telabit, yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi mencerdaskan anak-anak TKI di sana. Satu jam perjalanan menyusuri jalanan berbatu nan berliku dengan menumpang helas (mobil off road Hilux single cabin), sangat romantis bagi para traveller yang gemar senam jantung. Akhirnya, kami pun tiba di kediaman cikgu Selfie. Senyum manis sang rembulan diiringi sambutan hangat tetangga sekitar menyapa kehadiran kami.
Perumahan pekerja SOPB Telabit memang tak mewah layaknya perumahan real estate di Indonesia. Jajaran rumah panggung dari kayu berderet rapi dari ujung ke ujung. Lebih dari 70 kepala keluarga tinggal di sini, mayoritas berasal dari beberapa provinsi di Sulawesi. Warga Telabit hidup dalam kesederhanaan, penggunaan listrik pun dibatasi. Listrik hanya dialirkan selama 6 jam per hari, mulai pukul 4-5 pagi dan 5-10 malam. Ya, inilah Telabit. Tempat di mana kami akan mabit (bermalam) selama dua pekan mendatang. Tempat di mana kami, bi idznillaah, akan mencoba mengabdi dan mencerdaskan generasi penerus negeri. Welcome to Telabit.
Maaf, Zainal Sedang Sakit
Kediaman cikgu Selfie menjadi home sweet home yang mengakrabkan kami. Cikgu Selfie sebenarnya lulusan diploma jurusan Pendidikan Akhlaq di salah satu perguruan tinggi di Sulawesi, namun qadar Allah menentukan beliau untuk hijrah ke Malaysia sebagai buruh tani kelapa sawit, sejak delapan tahun lampau. Amanah sebagai cikgu (guru), baru diembannya empat bulan ini. Cikgu Selfie tinggal di istana sederhananya bersama sang suami, kami memanggilnya Pakcik Suwardi. Pakcik yang asli Palu, Sulawesi Tengah itu tak terlalu banyak bicara dan cerita. Makan bersama kami pun tak pernah. Saat kami ajak, beliau pasti berujar, “Sudah, sudah, sudah.”. Padahal belum. Pernah satu kali beliau makan bersama, itupun tatkala makan besar sop tulang sebagai hadiah perpisahan Ustadz Faisal pada kami.
Malam pertama di Telabit, kami kedatangan tamu kecil. Dengan tampang polosnya yang tanpa dosa, perlahan-lahan ia mendekat dan mengucap salam dengan agak terputus-putus. Sekilas, tak ada yang janggal dengan bocah enam tahun itu. Namun, semua menjadi jelas saat cikgu Selfie memeluknya dan memberi tahu kami, “Maaf, bocah ini sedang sakit.” Sakit? What’s wrong? Usut punya usut, ternyata memang ada “kelebihan” pada bocah luar biasa ini. Belum sempat kami berkenalan jauh dengannya, sang ibu memanggil, “Zainal, matindro nak!” (Bugis: “Zainal, tidur nak!”). Oh, namanya Zainal. Ok Zainal, sleep well and have a nice dream, boy. See you tomorrow.
Adzan shubuh pun berkumandang, kulangkahkan kaki seorang diri menuju surau. Di sanalah pertama kali aku berkenalan dengan Ustadz Faizal dan Bang Risal. Ustadz Faizal termasuk tokoh sentral di perumahan pekerja SOPB Telabit. Beliaulah yang mengurus segala sesuatunya, termasuk pasokan air dan listrik di seantero Telabit. Beliau sosok yang ringan tangan, supel dan penuh perhatian pada kami. Sementara itu Bang Risal, adalah salah satu mandor muda di sini. Ia tinggal di Telabit bersama ibu dan putri semata wayangnya, Aisyah. Isterinya meninggal setahun yang lalu di Miri. Bang Risal-lah yang biasanya menjadi teman curhatku selepas ‘Isya di surau.
Lepas shubuh rutinitas kami dimulai. Kami membantu cikgu Selfie meramu sarapan pagi dan antri mandi tentunya. Sarapan pun telah siap. Cikgu Selvie, Rina dan Jihan juga sudah comel. Tinggal aku yang belum mandi. Never mind, breakfast must go on. Saat kami tengah asyik sarapan, tiba-tiba muncul dari balik pintu bocah manis berseragam putih-biru dengan polesan bedak yang belepotan, mengucap salam. Zainal rupanya. “Zainal, pura mandrekah?” (Bugis: “Zainal sudah makankah?”), tanyaku. Zainal menjawab dengan bahasa batin, diam tanpa kata, diam seribu bahasa. Mungkin masih malu. Baiklah. Bombek Ko!
Sebiru hari kita bersama di sini
Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah
(Sebiru Hari Ini – EdCoustic)
Mungkin syair nasyid inilah yang melukiskan keceriaan berbalut kesederhanaan kami bersama siswa-siswi dan warga Telabit, Sarawak, Malaysia. Masih terngiang jelas memori perjalanan kami di sana. Mengajar bersama cikgu Selfie dan cikgu Udin, bermain dengan santri CLC An-Nur Hijrah Telabit, menerima ajakan Ustadz Faisal jalan-jalan dan shopping ke Batu Niah plus Bintulu, makan besar sop tulang ala chef Risal, dan tentu saja yang paling seru ialah membuat Zainal menangis seraya berseru, “Bombek ko!” (Bahasa Bugis yang artinya “Kita tak lagi berkawan!”). Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Tak ada yang abadi.
Kisah kami berawal dari program besutan Kak Ineu Rahmawati bertajuk Volunteerism Teaching Indonesian Children 3 (VTIC 3), yang merupakan program relawan mahasiswa mengajar anak-anak TKI di industri minyak kelapa sawit Sarawak, Malaysia. Singkat cerita, tiga dari 25 mahasiswa terpilih diterjunkan mengajar di CLC Telabit milik perusahaan SOPB (Sarawak Oil Palm Bhd). Aku, Jihan (Matematika UNJ) dan Rina (Sejarah UIN). And here is our love story in Telabit.
Mabit di Telabit
Setibanya di Miri Airport, kami menanti datangnya jemputan cikgu Salim untuk melanjutkan perjalanan panjang menuju Saremas, lokasi pembukaan VTIC 3. Inilah momen pertamaku bersua tokoh inspiratif yang namanya selalu didengungkan panitia VTIC: Muhammad Salim, S.E., S.Pd. Cikgu Salim sosok pekerja keras, sederhana, humoris, tegas dan pantang menyerah, pun terkadang sedikit melankolis. Kisah nyata perjalanan hidup beliau yang dramatis semakin membuka mata kami untuk terus berbagi. Bahwa hidup ini penuh perjuangan, hidup ini penuh pengorbanan, dan hidup ini hanya sementara. Layaknya petuah Jawa, “Urip iku mung mampir ngombe” (“Hidup itu hanya singgah sebentar untuk minum”).
Menjelang maghrib, upacara pembukaan pun usai. Cikgu Selfie dan cikgu Udin datang menyambut dan siap memboyongku, Jihan serta Rina menuju Telabit. Beliau berdualah guru tetap di CLC An-Nur Hijrah Telabit, yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi mencerdaskan anak-anak TKI di sana. Satu jam perjalanan menyusuri jalanan berbatu nan berliku dengan menumpang helas (mobil off road Hilux single cabin), sangat romantis bagi para traveller yang gemar senam jantung. Akhirnya, kami pun tiba di kediaman cikgu Selfie. Senyum manis sang rembulan diiringi sambutan hangat tetangga sekitar menyapa kehadiran kami.
Perumahan pekerja SOPB Telabit memang tak mewah layaknya perumahan real estate di Indonesia. Jajaran rumah panggung dari kayu berderet rapi dari ujung ke ujung. Lebih dari 70 kepala keluarga tinggal di sini, mayoritas berasal dari beberapa provinsi di Sulawesi. Warga Telabit hidup dalam kesederhanaan, penggunaan listrik pun dibatasi. Listrik hanya dialirkan selama 6 jam per hari, mulai pukul 4-5 pagi dan 5-10 malam. Ya, inilah Telabit. Tempat di mana kami akan mabit (bermalam) selama dua pekan mendatang. Tempat di mana kami, bi idznillaah, akan mencoba mengabdi dan mencerdaskan generasi penerus negeri. Welcome to Telabit.
Maaf, Zainal Sedang Sakit
Kediaman cikgu Selfie menjadi home sweet home yang mengakrabkan kami. Cikgu Selfie sebenarnya lulusan diploma jurusan Pendidikan Akhlaq di salah satu perguruan tinggi di Sulawesi, namun qadar Allah menentukan beliau untuk hijrah ke Malaysia sebagai buruh tani kelapa sawit, sejak delapan tahun lampau. Amanah sebagai cikgu (guru), baru diembannya empat bulan ini. Cikgu Selfie tinggal di istana sederhananya bersama sang suami, kami memanggilnya Pakcik Suwardi. Pakcik yang asli Palu, Sulawesi Tengah itu tak terlalu banyak bicara dan cerita. Makan bersama kami pun tak pernah. Saat kami ajak, beliau pasti berujar, “Sudah, sudah, sudah.”. Padahal belum. Pernah satu kali beliau makan bersama, itupun tatkala makan besar sop tulang sebagai hadiah perpisahan Ustadz Faisal pada kami.
Malam pertama di Telabit, kami kedatangan tamu kecil. Dengan tampang polosnya yang tanpa dosa, perlahan-lahan ia mendekat dan mengucap salam dengan agak terputus-putus. Sekilas, tak ada yang janggal dengan bocah enam tahun itu. Namun, semua menjadi jelas saat cikgu Selfie memeluknya dan memberi tahu kami, “Maaf, bocah ini sedang sakit.” Sakit? What’s wrong? Usut punya usut, ternyata memang ada “kelebihan” pada bocah luar biasa ini. Belum sempat kami berkenalan jauh dengannya, sang ibu memanggil, “Zainal, matindro nak!” (Bugis: “Zainal, tidur nak!”). Oh, namanya Zainal. Ok Zainal, sleep well and have a nice dream, boy. See you tomorrow.
Adzan shubuh pun berkumandang, kulangkahkan kaki seorang diri menuju surau. Di sanalah pertama kali aku berkenalan dengan Ustadz Faizal dan Bang Risal. Ustadz Faizal termasuk tokoh sentral di perumahan pekerja SOPB Telabit. Beliaulah yang mengurus segala sesuatunya, termasuk pasokan air dan listrik di seantero Telabit. Beliau sosok yang ringan tangan, supel dan penuh perhatian pada kami. Sementara itu Bang Risal, adalah salah satu mandor muda di sini. Ia tinggal di Telabit bersama ibu dan putri semata wayangnya, Aisyah. Isterinya meninggal setahun yang lalu di Miri. Bang Risal-lah yang biasanya menjadi teman curhatku selepas ‘Isya di surau.
Lepas shubuh rutinitas kami dimulai. Kami membantu cikgu Selfie meramu sarapan pagi dan antri mandi tentunya. Sarapan pun telah siap. Cikgu Selvie, Rina dan Jihan juga sudah comel. Tinggal aku yang belum mandi. Never mind, breakfast must go on. Saat kami tengah asyik sarapan, tiba-tiba muncul dari balik pintu bocah manis berseragam putih-biru dengan polesan bedak yang belepotan, mengucap salam. Zainal rupanya. “Zainal, pura mandrekah?” (Bugis: “Zainal sudah makankah?”), tanyaku. Zainal menjawab dengan bahasa batin, diam tanpa kata, diam seribu bahasa. Mungkin masih malu. Baiklah. Bombek Ko!
(to be continued, click here to continue)
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
"Stand by Me, Telabit"
(subtitle: enabled)
(subtitle: enabled)
"Di Telabit, Cintaku Terbit"
Lentera Indonesia NET TV 21 September 2014
"Anak Indonesia di Negara Tetangga"