Wednesday, September 3, 2014

Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 1)

click here to read Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 3)

: : : : : : : :


Sebiru hari ini, birunya bagai langit terang benderang
Sebiru hari kita bersama di sini
Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah
(Sebiru Hari Ini – EdCoustic)

Mungkin syair nasyid inilah yang melukiskan keceriaan berbalut kesederhanaan kami bersama siswa-siswi dan warga Telabit, Sarawak, Malaysia. Masih terngiang jelas memori perjalanan kami di sana. Mengajar bersama cikgu Selfie dan cikgu Udin, bermain dengan santri CLC An-Nur Hijrah Telabit, menerima ajakan Ustadz Faisal jalan-jalan dan shopping ke Batu Niah plus Bintulu, makan besar sop tulang ala chef Risal, dan tentu saja yang paling seru ialah membuat Zainal menangis seraya berseru, “Bombek ko!” (Bahasa Bugis yang artinya “Kita tak lagi berkawan!”). Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Tak ada yang abadi.

Kisah kami berawal dari program besutan Kak Ineu Rahmawati bertajuk Volunteerism Teaching Indonesian Children 3 (VTIC 3), yang merupakan program relawan mahasiswa mengajar anak-anak TKI di industri minyak kelapa sawit Sarawak, Malaysia. Singkat cerita, tiga dari 25 mahasiswa terpilih diterjunkan mengajar di CLC Telabit milik perusahaan SOPB (Sarawak Oil Palm Bhd). Aku, Jihan (Matematika UNJ) dan Rina (Sejarah UIN). And here is our love story in Telabit.

Mabit di Telabit

Setibanya di Miri Airport, kami menanti datangnya jemputan cikgu Salim untuk melanjutkan perjalanan panjang menuju Saremas, lokasi pembukaan VTIC 3. Inilah momen pertamaku bersua tokoh inspiratif yang namanya selalu didengungkan panitia VTIC: Muhammad Salim, S.E., S.Pd. Cikgu Salim sosok pekerja keras, sederhana, humoris, tegas dan pantang menyerah, pun terkadang sedikit melankolis. Kisah nyata perjalanan hidup beliau yang dramatis semakin membuka mata kami untuk terus berbagi. Bahwa hidup ini penuh perjuangan, hidup ini penuh pengorbanan, dan hidup ini hanya sementara. Layaknya petuah Jawa, “Urip iku mung mampir ngombe” (“Hidup itu hanya singgah sebentar untuk minum”).

Menjelang maghrib, upacara pembukaan pun usai. Cikgu Selfie dan cikgu Udin datang menyambut dan siap memboyongku, Jihan serta Rina menuju Telabit. Beliau berdualah guru tetap di CLC An-Nur Hijrah Telabit, yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi mencerdaskan anak-anak TKI di sana. Satu jam perjalanan menyusuri jalanan berbatu nan berliku dengan menumpang helas (mobil off road Hilux single cabin), sangat romantis bagi para traveller yang gemar senam jantung. Akhirnya, kami pun tiba di kediaman cikgu Selfie. Senyum manis sang rembulan diiringi sambutan hangat tetangga sekitar menyapa kehadiran kami.

Perumahan pekerja SOPB Telabit memang tak mewah layaknya perumahan real estate di Indonesia. Jajaran rumah panggung dari kayu berderet rapi dari ujung ke ujung. Lebih dari 70 kepala keluarga tinggal di sini, mayoritas berasal dari beberapa provinsi di Sulawesi. Warga Telabit hidup dalam kesederhanaan, penggunaan listrik pun dibatasi. Listrik hanya dialirkan selama 6 jam per hari, mulai pukul 4-5 pagi dan 5-10 malam. Ya, inilah Telabit. Tempat di mana kami akan mabit (bermalam) selama dua pekan mendatang. Tempat di mana kami, bi idznillaah, akan mencoba mengabdi dan mencerdaskan generasi penerus negeri. Welcome to Telabit.

Maaf, Zainal Sedang Sakit

Kediaman cikgu Selfie menjadi home sweet home yang mengakrabkan kami. Cikgu Selfie sebenarnya lulusan diploma jurusan Pendidikan Akhlaq di salah satu perguruan tinggi di Sulawesi, namun qadar Allah menentukan beliau untuk hijrah ke Malaysia sebagai buruh tani kelapa sawit, sejak delapan tahun lampau. Amanah sebagai cikgu (guru), baru diembannya empat bulan ini. Cikgu Selfie tinggal di istana sederhananya bersama sang suami, kami memanggilnya Pakcik Suwardi. Pakcik yang asli Palu, Sulawesi Tengah itu tak terlalu banyak bicara dan cerita. Makan bersama kami pun tak pernah. Saat kami ajak, beliau pasti berujar, “Sudah, sudah, sudah.”. Padahal belum. Pernah satu kali beliau makan bersama, itupun tatkala makan besar sop tulang sebagai hadiah perpisahan Ustadz Faisal pada kami.

Malam pertama di Telabit, kami kedatangan tamu kecil. Dengan tampang polosnya yang tanpa dosa, perlahan-lahan ia mendekat dan mengucap salam dengan agak terputus-putus. Sekilas, tak ada yang janggal dengan bocah enam tahun itu. Namun, semua menjadi jelas saat cikgu Selfie memeluknya dan memberi tahu kami, “Maaf, bocah ini sedang sakit.” Sakit? What’s wrong? Usut punya usut, ternyata memang ada “kelebihan” pada bocah luar biasa ini. Belum sempat kami berkenalan jauh dengannya, sang ibu memanggil, “Zainal, matindro nak!” (Bugis: “Zainal, tidur nak!”). Oh, namanya Zainal. Ok Zainal, sleep well and have a nice dream, boy. See you tomorrow.

Adzan shubuh pun berkumandang, kulangkahkan kaki seorang diri menuju surau. Di sanalah pertama kali aku berkenalan dengan Ustadz Faizal dan Bang Risal. Ustadz Faizal termasuk tokoh sentral di perumahan pekerja SOPB Telabit. Beliaulah yang mengurus segala sesuatunya, termasuk pasokan air dan listrik di seantero Telabit. Beliau sosok yang ringan tangan, supel dan penuh perhatian pada kami. Sementara itu Bang Risal, adalah salah satu mandor muda di sini. Ia tinggal di Telabit bersama ibu dan putri semata wayangnya, Aisyah. Isterinya meninggal setahun yang lalu di Miri. Bang Risal-lah yang biasanya menjadi teman curhatku selepas ‘Isya di surau.

Lepas shubuh rutinitas kami dimulai. Kami membantu cikgu Selfie meramu sarapan pagi dan antri mandi tentunya. Sarapan pun telah siap. Cikgu Selvie, Rina dan Jihan juga sudah comel. Tinggal aku yang belum mandi. Never mind, breakfast must go on. Saat kami tengah asyik sarapan, tiba-tiba muncul dari balik pintu bocah manis berseragam putih-biru dengan polesan bedak yang belepotan, mengucap salam. Zainal rupanya. “Zainal, pura mandrekah?” (Bugis: “Zainal sudah makankah?”), tanyaku. Zainal menjawab dengan bahasa batin, diam tanpa kata, diam seribu bahasa. Mungkin masih malu. Baiklah. Bombek Ko!


(to be continued, click here to continue)


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

"Stand by Me, Telabit"
(subtitle: enabled)


"Di Telabit, Cintaku Terbit"


Lentera Indonesia NET TV 21 September 2014
"Anak Indonesia di Negara Tetangga"






Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 2)

click here to read Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 3)
click here to visit Indonesia Volunteering Hub

.: VTIC Foundation :.




Mentari pagi semakin tinggi seakan memberikan semangat di hari pertama relawan VTIC akan mengajar di sekolah, CLC An-Nur Hijrah Telabit. Didampingi cikgu Selfie dan Zainal, kami berjalan bersama menuju sekolah untuk pertama kalinya. Sepanjang perjalanan, kami mengamati beragam aktivitas pagi di sini. Mulai dari makcik yang tengah bekerja merawat kebun sampai pakcik yang mengendarai person (tractor) atau lori (truck).

Setibanya di sekolah, kami disambut cikgu Udin, Kepala Sekolah yang juga merangkap sebagai juru kuncinya. Mas Udin Madong, begitulah nama yang tertera di akun facebook beliau. Selain mengajar, cikgu Udin juga bertugas sebagai pengusir nyamuk di Telabit. Dua kali dalam seminggu ia keliling kompleks, membasmi nyamuk (fogging) di rumah-rumah warga. Fakta menarik: usia beliau sudah mencapai kepala empat, namun masih jomblo jua. Mau?

Sekolah non-formal CLC An-Nur Hijrah Telabit yang sederhana, namun penuh cerita. Di gubug kayu inilah sekitar 32 pelajar menimba ilmu. Mulai tingkat Tadika (TK), SD hingga SMP, bermain dan belajar bersama. Berbaur satu atap tanpa sekat. Fasilitas yang minim ditambah kualitas pendidik yang seadanya membuatku semakin prihatin sekaligus ragu akan mutu pendidikan di sini. Namun selama mengajar di sini, keraguanku sedikit demi sedikit tumbuh menjadi keyakinan. Bahwa mereka pun dapat bersaing dengan pelajar di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Salah satunya karena kehadiran sosok Evan.

Ya, Evan. Evan adalah satu-satunya murid SMP di Telabit yang sangat bersemangat melanjutkan sekolah, demi mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Tahun lalu, ia menjadi lulusan SD Paket A terbaik se-Sarawak, Malaysia. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan warga Telabit. Harus diakui, kecerdasan dan kedisiplinannya dalam belajar memang di atas rata-rata murid lainnya. Evan-lah yang menjadi ketua kelas. Evan-lah yang menjadi contoh dan panutan siswa lainnya di sekolah. Evan pula-lah yang kerap kali mendapat tugas penting dari cikgu, entah mengantar pulang siswa Tadika, atau sekadar memanggil murid-murid untuk berkumpul. Walaupun begitu, Evan juga tak jarang menjadi biang kerok kegaduhan kelas. Maklum, anak-anak.

Semoga masih ada Evan-Evan lainnya di Telabit. Yang giat belajar demi menggapai asa setinggi langit. Bukan lagi hanya bermimpi ingin meneruskan orang tua menjadi buruh tombak, mandor atau sekadar driver. Make your dream comes true Evan, for your better future.

Mail Dua Seringgit

Selain Evan, masih banyak murid Telabit lainnya yang tak kalah unik. Ada trio kelas 6 SD yang cerdas-cerdas: Suleha, Nana dan Uni. Johari kelas 5 SD yang slengekan tak karuan tapi dapat diandalkan, walaupun hanya kadang-kadang. Akmal (4 SD) si mungil genius yang hafal teks Pembukaan UUD 1945. Ada pula Milda (4 SD) yang selalu penuh canda. Dan masih banyak yang lainnya. Salah satu murid yang membuatku sesekali cekikikan adalah Mail Ismail. Kami memanggilnya Mail Dua Seringgit.

Pernah melihat kartun Malaysia, Upin dan Ipin? Tahu salah satu tokoh yang gemar membantu ibunya berjualan dengan tagline, “Dua seringgit, dua seringgit”? Yes, Mail Ismail is his name. Namanya sama, perawakan Mail di Telabit pun sangat kembar identik dengan Mail dalam Upin dan Ipin. Tak salah dong, jika kami memanggilnya Mail Dua Seringgit.

Mail termasuk bocah yang cerdas, peduli dan berani. Satu hal yang paling kocak dari Mail, ekspresinya yang tiba-tiba berubah drastis saat terkejut atau tertawa. Mail jua-lah yang pertama kali berinisiatif menulis surat perpisahan untukku. Dengan tulisan cakar ayamnya, Mail berpesan: “CEgU LiNtANg jAgAN pULANg yA. Nati KitA mAiL Adi AjAK pEgi KA BiNtULU. mAiL.” (“Cikgu Lintang jangan pulang, ya. Nanti kita, Mail dan Adi ajak pergi ke Bintulu. Mail.”)

Terima kasih banyak, Mail. Kapan-kapan kita ke Bintulu, OK? :’)

Reyhan Nakal Bingit?

Suatu siang selepas mengajar, kunikmati angin sepoi-sepoi di beranda rumah cikgu Selfie. Tak lama berselang, Jihan menyusul sembari membawa satu paket cerita bergambar, bantuan dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), seraya duduk di depan pintu dan membaca salah satu ceritanya dengan lantang. Entah Jihan membacakan cerita untuk siapa. Untukkukah? Hey Jihan, do you think I can’t read it by myself?

Beberapa menit kemudian, sayup-sayup dari bawah rumah panggung terdengar suara anak kecil berseliweran di sekitar rumah. Kupanggil ia naik ke rumah panggung. “Sini, nak,” ujarku. Beberapa kali kupanggil hingga berbusa, tak sekalipun ia menjawab. Menjawab pun dengan bahasa batin, diam tanpa kata, diam seribu bahasa. Kubiarkan ia duduk-duduk di tangga rumah panggung. Jihan pun merayunya dengan menyodorkan buku cerita bergambar. Walhasil, alon-alon waton kelakon, ia pun naik selangkah demi selangkah ke atas rumah panggung.

Sosoknya tak kami jumpai di sekolah, karena memang ia putus sekolah. Kondisi ekonomi memaksanya membantu orang tua di usia yang sangat belia. Menurut cikgu Selfie dan Ustadz Faizal, anak ini very very naughty boy. Ciyus? Namun nyatanya, menurut kami anak ini anak yang pemberani, penurut dan mudah diatur. Walau memang sedikit liar.

Mungkin bukan nakal, lebih tepatnya cari perhatian. Namanya Reyhan. Saat kuajak ke surau, Reyhan menurut. Padahal selama ini ia jarang sembahyang di surau, bahkan tak pernah. Kala kuajak mengaji bersama ba’da maghrib, Reyhan pun ikut. Walaupun sejauh ini ia jarang mengaji dan baru faham sampai huruf “jim”. Reyhan menjadi cermin bagaimana kondisi miris anak-anak TKI di sini. Mereka terhimpit hiruk-pikuk kondisi industri. Mereka tercekik dengan doktrin: uang yang paling penting. Mereka minim fasilitas belajar. Mereka minim fasilitas bermain. Satu hal yang pasti, mereka butuh perhatian. Reyhan hanyalah satu dari ribuan anak bangsa yang butuh uluran tangan kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

.: VTIC Foundation :.

(to be continued, click here to continue)


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

"Stand by Me, Telabit"
(subtitle: enabled)


"Di Telabit, Cintaku Terbit"


Lentera Indonesia NET TV 21 September 2014
"Anak Indonesia di Negara Tetangga"






Di Telabit, Cintaku Terbit (Episode 3)


: : : : : : : :


Semangat Bangkit

Sabtu, 16 Agustus 2014. Inilah pertama kalinya aku merasakan semarak kemerdekaan di tanah orang. Inilah pertama kalinya aku mengikuti upacara bendera di negeri jiran. Hari ini, kami melangsungkan gladi resik upacara 17 Agustus bersama siswa-siswi Telabit. Cikgu Rina yang dengan tegas dan lugas mengatur pasukan pengibar bendera: Suleha, Nana dan Uni. Cikgu Jihan yang mendampingi sang dirigen, Aisah, putri Bang Risal. Sementara aku menemani Adi, petugas pembaca teks Pembukaan UUD 1945. Gladi resik yang sederhana, dan seadanya.

Ahad, 17 Agustus 2014. Upacara dilangsungkan. Johari selaku pemimpin pasukan telah menyiapkan barisannya. Sang pemimpin upacara, Evan, pun telah melaporkan kesiapan pasukan pada pembina upacara, Cikgu Udin. Suleha, Nana dan Uni dengan sigap memasuki lapangan upacara, membentangkan Sang Merah Putih. Ya, cukup dibentang dan tanpa tiang. Karena tak boleh ada bendera berkibar selain bendera Malaysia di sini. Agak sedih rasanya tak dapat melihat keperkasaan Sang Saka. Namun apa dikata, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Luka ini terobati manakala lagu kebangsaan, Indonesia Raya, digaungkan dari mulut mungil siswa-siswi Telabit. Haru-biru bercampur semangat ’45 kembali membangkitkan rasa persaudaraan, sejenak melupakan perbedaan dan menyelami makna Indonesia. Seperti yang diungkapkan project officer VTIC 3, Ahmad Adib, “Indonesia bukan sebatas lokasi, tapi Indonesia ada di hati”. Merdeka!

Usai upacara nan sederhana dan seadanya itu, tiba-tiba air mata cikgu Selfie tumpah-ruah tak terbendung. Entah beliau menangis karena sedih melihat penampilan upacara anak didiknya, atau menangis karena haru, rindu tanah kelahiran yang sudah delapan tahun ditinggalkannya.

Keliling Kebun Kelapa Sawit

Sabtu, 23 Agustus 2014, menjadi hari terakhir kami mengajar di Telabit. Sudah dua hari ini kami mengajar tanpa kehadiran cikgu Selfie dan cikgu Rina. Sejak Kamis (21/8) lalu, mereka mengantarkan trio siswi kelas 6: Suleha, Nana dan Uni mengikuti Ujian Paket A di Lavang Estate. Sejak Kamis pula, kami kedatangan rekan kami yang siap membantu, cikgu Gianti dari Universitas Islam Bandung. Sejak Kamis jua, kegiatan kami diliput oleh Net TV. Alhamdulillaah.

Sabtu ini, kami tak ada niatan mengajar pelajaran apapun. Kami ingin berbagi setitik keceriaan, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Kami ingin berbagi secercah kebahagiaan, di detik-detik terakhir kebersamaan kami. Bersama seluruh siswa, kami menyusuri bukit dan kebun kelapa sawit. Melihat-lihat pemandangan nan elok, mensyukuri karunia Allah Yang Maha Agung. Usai jalan-jalan, kami membagikan buah tangan sederhana sebagai kenang-kenangan dari Indonesia. Walaupun beberapa hadiah kami beli di Batu Niah dan Bintulu, anggaplah itu dari Indonesia ya nak.

Hari ini anak-anak kami pulangkan lebih awal. Beberapa siswa telah disiapkan untuk mengikuti ajang Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu) di Saremas, yang sekaligus menjadi event penutup VTIC 3. Keberangkatan kami dari Telabit menuju Saremas, menanti datangnya rombongan cikgu Selfie dari Lavang.

Menjelang sore, rombongan cikgu Selfie yang baru saja menyelesaikan ujian Paket A pun tiba dengan menumpang beng-beng (semacam travel mini van). Artinya, inilah detik-detik perpisahan kami dengan warga Telabit. Rintik hujan menemani kepergian tim Persami Telabit. Selamat tinggal Telabit, sampai jumpa di lain hari.



Perpisahan Pahit

Sepanjang perjalanan dari Telabit ke Saremas, kami habiskan dengan penuh suka-cita dan canda-tawa. Kami nyanyikan yel-yel penyemangat tim Telabit, dengan harapan mereka dapat mengikuti Persami dengan optimal dan meraih banyak prestasi di kompetisi yang diselenggarakan.

Sabtu malam (23/8), kami mengikuti upacara dan pesta api unggun ala Pramuka di Saremas. Setelah sebelumnya para peserta dari berbagai sekolah non-formal menampilkan aksinya dalam lomba pentas seni. Kami dari Telabit menampilkan seni tari khas Sulawesi, tari Baju Bodo dan tari Habibi. Sebuah kehormatan bagi kami, karena malam ini pihak KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Kuching turut serta mengikuti seluruh rangkaian Persami.

Keesokan harinya, Ahad (24/8), berlangsung beraneka ragam perlombaan. Mulai dari cerdas-tepat, ala ranking 1, lomba baca puisi, lomba mewarnai, hingga ajang olahraga ala 17-an: estafet air, balap sarung, giring kelereng, dan joget balon. Menjelang sore, tiba saatnya pengumuman. Alhamdulillaah, santri kami dari Telabit mendapatkan beberapa titel juara, walaupun belum menjadi juara umum. Dan yang paling mengesankan adalah penampilan Suleha yang menyabet Juara 1 lomba baca puisi. So touching, congratulation Suleha :’)

: : : : : : : :

Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali.
Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati.

Dua pekan lamanya kami berjumpa. Ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Tiba masanya kami berpisah. Perpisahan memang pahit. Namun pahit bukan berarti tak baik bagi kita. Terkadang, obat dan jamu nan pahit justru menjadi jalan kita kembali menikmati manis dan nikmatnya kesehatan. Terkadang, gula yang manis justru membuat hidup kita pahit dengan berbagai macam penyakit. Sesuatu yang menurut kita buruk, sejatinya belum tentu benar-benar buruk bagi kita. Begitu pula sebaliknya. Sesuatu yang menurut kita baik, sejatinya belum tentu benar-benar baik bagi kita

Dua pekan lamanya kami bersama. Kiranya banyak kisah yang tak semuanya dapat dituliskan. Banyak cerita yang tak dapat dilupakan. Banyak kata yang tak mampu diungkapkan. Di Telabit, cintaku terbit.


.: E N D :.


= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =


"Stand by Me, Telabit"
(subtitle: enabled)


"Di Telabit, Cintaku Terbit"


Lentera Indonesia NET TV 21 September 2014
"Anak Indonesia di Negara Tetangga"






I like Tsubasa, watch this!

Compilation shots from Captain Tsubasa "Aratanaru Densetsu Joshou" ("New Legend Beginning") Play Station X Game, adaptasi dari komik Captain Tsubasa World Youth (1994), awesome!